Hari Natal sudah berlalu, tapi suaraNya masih menggema di telinga. Apa yang menjadi makna? Hari ini saya belajar dan diajar. Apa itu Natal? Sebuah perayaan kah? Bahkan semua orang yang tidak kenal Yesus pun merayakannya. Jadi apa itu Natal? Apakah sebuah perayaan tahunan dengan sebuah penyalaan lilin, drama, dicampur dengan paduan suara yang menggema dan akhirnya dibungkus dengan salam "Selamat Natal"?
Apakah kita harus bersukacita dalam Natal? Yah, itu benar.. Tapi sesungguhnya Natal adalah buah dari perbuatan kita. Natal adalah kondisi Yesus harus menderita, karena tidak ada cara lain untuk menebus dosa kita. Dosa dimulai oleh manusia dan harus diakhiri dalam bentuk manusia. Dengan cara itulah, Allah menjalankan rencanaNya, Ia buat bagiannya yang paling berharga menjadi hina. Apakah kita bisa tertawa sambil mengunyah setiap potongan daging yang besar? atau sambil menyanyikan "Jingle bell, jingle bell.." atau "Santa Clause is coming to town"?? Inilah paradoks sebuah Natal, dibungkus dalam sebuah kemewahan sebuah pengorbanan. Padahal ini bukan hanya sekedar pesta ulang tahun, tapi ini upacara mengantar Dia ke dalam kematianNya.
Natal membawa iman. Iman yang menembus keterbatasan, iman yang menjadi jembatan, iman yang menghubungkan kita denganNya. Iman membuat kita bisa percaya apa yang tidak terlihat, Iman membuat kita merasakan apa yang tidak tersentuh, dan Iman yang menjebatani kita melampaui langit dan bintang-bintang di angkasa menuju tempatNya. Hal yang mustahil untuk menjangkau Allah yang tanpa batas itu dengan diri kita yang terbatas, dan kemustahilan itu dijawab dalam sebuah kelahiran..
Apakah masih layak menghubungkan Natal dengan sebuah lilin? Apakah masih layak menghubungkan Natal dengan sebuah pohon cemara yang indah? Apakah masih layak menghubungkan Natal dengan potongan-potongan kue di meja makan? Terlalu naif.. Namun inilah paradoks Natal..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment