The Land Between

Setiap kali saya mendengar mengenai kisah Bangsa Israel keluar dari tanah Mesir, saya akan mengingat mengenai kekerasan hati dan keras kepalanya bangsa Israel. Ditolong oleh Tuhan lepas dari penjajahan, namun mereka menghabiskan hidup mereka dengan menggerutu. Bayangkan saja, di padang gurun yang isinya hanya ada pasir saja, mereka tetap bisa hidup, bahkan bisa makan roti manna setiap hari. Tapi dengan keadaan itu, mereka belum merasa cukup, mereka minta daging. Sampai akhirnya Tuhan mengirimkan sekumpulan burung puyuh yang terbang rendah supaya mereka bisa makan daging itu. Tapi bangsa itu justru melakukan hal yang melukai Tuhan, mereka tangkap burung-burung puyuh itu, dan memakannya mentah-mentah. Tuhan marah, lalu memukul mereka sampai mati. Ini kisah tragis, bagaimana Tuhan marah pada sebuah bangsa, bangsa yang sebenarnya Ia sangat kasihi.


Pada sessi "The Land Between", Jeff Manion membuat saya melihat sesuatu dari hal yang berbeda. Ini bukan soal bagaimana saya ikut menyalahkan dan menghakimi bangsa Israel, tapi saya melihat bagaimana saya sebagai bangsa itu. 40 tahun berputar-putar melalui padang gurun, 40 tahun memakan manna saja, 40 tahun hidup berpindah-pindah memasang dan membereskan kemah, 40 tahun harus berjalan dalam iman. Bangsa itu merasa jenuh, muak, lelah, bahkan kehilangan harapan. Apakah Tuhan tidak tahu hal itu? Tuhan tahu hal yang sedang mereka rasakan itu.


The Land between berbicara mengenai sebuah lahan yang subur untuk mengeluh, sebuah lahan yang subur untuk terjadinya keruntuhan emosional. Itulah yang terjadi pada bangsa Israel selama 40 tahun di padang gurun. Mereka menghabiskan waktu untuk hal itu di sana. Namun, hal yang tidak disadari oleh bangsa Israel adalah, The Land between adalah sebuah lahan yang subur bagi Penyertaan Tuhan, sebuah lahan yang subur bagi Disiplin Tuhan, sebuah lahan yang subur bagi Pertumbuhan Transformational. Justru di Padang Gurun itu, Tuhan banyak melakukan hal luar biasa. The Land between is only the way to switch them to the Promise Land. 


Kita sendiri pun sering mengalami kemuakan akan hidup, mungkin kita berkata : saya muak dengan hidup saya, saya muak dengan keluarga, saya muak dengan orang-orang di sekitar saya, saya muak dengan sekolah saya, saya muak dengan pekerjaan saya, saya muak dengan orang-orang yang melukai hati saya, saya muak dengan semua yang saya lakukan dalam hidup ini. Kita mungkin letih karena setiap masalah yang harus kita hadapi, tidak sanggup lagi harus berjalan di padang gurun ini. Yang dirasakan hanya kesakitan untuk setiap luka yang mendatangi, ketakutan untuk setiap ketidakpastian di padang gurun ini. Tuhan tahu hal itu, Tuhan tahu apa yang sedang kita rasaan..


Ia tahu, kita muak dengan 'manna' yang tiap hari kita makan, kita menginginkan 'daging', 
tapi jangan biarkan keinginan kita untuk makan daging membuat kita mati. 
Ia tahu kita lelah berjalan di padang pasir ini;
tapi jangan biarkan kelelahan kita membuat kita berhenti untuk melangkah memasuki tanah perjanjianNya; 
Ia tahu bahwa kita takut dengan setiap kemungkinan yang akan terjadi di padang gurun ini, 
tapi jangan biarkan ketakutan itu membuat kita meragukan kuasa dan keberadaanNya..


When you are passing through a season of prolog waiting, fed up, confusion of pain, more than anything, your Father wants to be trusted. Perhaps the most powerful prayer you can offer are three words, "I trust You"..

The Upside of Tension

Saya bersyukur karena 2 hari kemarin Tuhan ijinkan saya ikut dalam The Global Leadership Summit 2010. Satu hal yang saya syukuri adalah, moment ini seperti menemukan sebuah oase di padang gurun gersang yang sedang saya lalui. Saya memang tidak mengikuti semua sessi, berhubung ada tugas lain di sana. Saya menyempatkan diri mencuri-curi waktu untuk ikut ke dalam ruangan menyaksikan video. Hari pertama, di sessi terakhir, pembicaranya adalah Andy Stanley, tentang "The Upside of Tension". Sessi ini sangat memberkati saya (sekalipun si pembicara berbicara begitu dan sangat cepat), menyadarkan saya bahwa ada betapa banyak tekanan dalam hidup, bahkan setiap detik selalu ada "tekanan" / atau ia menyebutnya tensin (tegangan).


Ada satu ilustrasi menarik yang menjelaskan mengenai tension. Coba rekatkan jari jempol anda dan telunjuk. lalu tekanlah keduanya. Nah, itu lah yang disebut "tension". Ada ketegangan dari tekanan antara jempol dan telunjuk anda. Apakah artinya si Telunjuk akan kesal dengan si jempol? atau sebaliknya? Anda tidak akan memotong jempol anda hanya karena dia memberikan tension terhadap telunjuk anda bukan? Banyak orang yang tidak mengerti, atau lebih tepatnya salah mengerti. Mereka anggap bahwa semua tension harus diselesaikan, harus dihilangkan. Namun, sebenarnya bukan itu yang terbaik. Seperti yang tadi sudah dibahas, bahwa memotong jempol anda, itu bukan pilihan yang tepat. Jadi, bukan dengan memotong sumber tension itu. Yang terbaik adalah bagaimana memanage tension yang ada.


Jika anda meredakan ketegangan itu, maka anda akan menciptakan penghalang dari sebuah perkembangan. Justru anda telah menciptakan ketegangan baru. Karena anda memotong jempol anda, maka anda tidak bisa memegang sebuah pensil, anda tidak bisa menulis banyak tulisan indah, tidak bisa mengikuti ujian negara, atau tidak bisa menandatangani surat pernikahan anda.


Tension membuat anda menjadi bertumbuh, tension membuat anda punya peluang untuk berkembang, tension membuat anda punya kesempatan untuk menghasilkan sesuatu. Tidak akan ada kisah-kisah hebat yang akan ditulis jika tidak ada tegangan pada pensil yang anda pegang. Tidak akan ada alunan musik indah yang memancing decak kagum tanpa adanya jari jemari yang menekan tuts piano. Tidak akan ada masakan lezat yang menari-nari di lidah anda, jika tidak ada tekanan pada sebuah pisau pada talenan anda.


Lalu, yang harus kita lakukan adalah : manfaatkanlah tension itu! 


Your passion and your maturity will help you to manage the tension..